Bersyukur
kepada Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya adalah kunci hidup bahagia.
Dengan bersyukur, seseorang lebih bisa merasakan nikmat dari karunia yang telah
diterimanya. Bahkan, tidak hanya bisa merasakan nikmat, tetapi nikmat itu bisa
bertambah.
Hal suda disenyalir oleh Allah dalam firman-Nya surat Ibrahim ayat
7 yang berbunyi;
Artinya : sesungguhnya jika kamu bersyukur
pasti Kami akan menambah nikmat
kepadamu, dan jika kamu mengingkari
nikamt tersebut, maka sesungguhnya azab-
Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim; 7 )
Orang yang selalu bersyukur maka hatinya akan sering merasakan kebahagiaan. Oleh karena itu, secara psikologis orang yang bersyukur akan senantiasa terdorong berpikir dan bersikap secara positif, bila sudah demikian maka Insya Allah ia akan sehat jiwa dan raga. Sebaliknya orang yang tidak bersyukur, maka hidupnya akan terasa kurang dan kurang, hari-harinya akan dijalani dengan banyak mengeluh. Dapat rezeki sekian merasa kurang, ditambah lagi sekian juga tetap merasa kurang. Jiwanya sering gelisah, yang berakibat pada kesehatan jiwa dan raga. Setidaknya ada tiga hal yang dapat membuat kita menjadi hamba yang bersyukur, yaitu; Menerima dengan senang hati atas segala karunia Allah Memanfaatkan segala karunia yang
telah diterima dengan sebaik-baiknya dalam rangka beribadah kepada Allah Mengelola karunia yang telah
diterima dengan sebaik-baiknya. Setelah kita bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan kepada kita, maka hal yang perlu kita lakukan adalah melestarikan dan mengelola nikmat dan karunia tersebut. Agar senantiasa bermanfaat bagi kita, karena syukur yang dilakukan oleh manusia
itu bukan untuk kepentingan siapa-siapa, melainkan untuk kepentingan manusia itu sediri.
Artinya : sesungguhnya jika kamu bersyukur
pasti Kami akan menambah nikmat
kepadamu, dan jika kamu mengingkari
nikamt tersebut, maka sesungguhnya azab-
Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim; 7 )
Orang yang selalu bersyukur maka hatinya akan sering merasakan kebahagiaan. Oleh karena itu, secara psikologis orang yang bersyukur akan senantiasa terdorong berpikir dan bersikap secara positif, bila sudah demikian maka Insya Allah ia akan sehat jiwa dan raga. Sebaliknya orang yang tidak bersyukur, maka hidupnya akan terasa kurang dan kurang, hari-harinya akan dijalani dengan banyak mengeluh. Dapat rezeki sekian merasa kurang, ditambah lagi sekian juga tetap merasa kurang. Jiwanya sering gelisah, yang berakibat pada kesehatan jiwa dan raga. Setidaknya ada tiga hal yang dapat membuat kita menjadi hamba yang bersyukur, yaitu; Menerima dengan senang hati atas segala karunia Allah Memanfaatkan segala karunia yang
telah diterima dengan sebaik-baiknya dalam rangka beribadah kepada Allah Mengelola karunia yang telah
diterima dengan sebaik-baiknya. Setelah kita bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan kepada kita, maka hal yang perlu kita lakukan adalah melestarikan dan mengelola nikmat dan karunia tersebut. Agar senantiasa bermanfaat bagi kita, karena syukur yang dilakukan oleh manusia
itu bukan untuk kepentingan siapa-siapa, melainkan untuk kepentingan manusia itu sediri.
Perintah untuk bersyukur kepada Allah
Allah
memerintahkan untuk bersyukur pada beberapa ayat Al-Qur’an.
Allah
berfirman:
وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“… dan
syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
(An-NahI:
114)
Allah
berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي
وَلا تَكْفُرُونِ
“Dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
(Al-Baqarah:
152)
Allah
berfirman:
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“… maka
mintalah rezki itu di sisi Allah, sembahlah Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya.
Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.“
(Al-Ankabut:
17)
Syukur merupakan bukti penyembahan kita
kepada Allah
Allah
mengabarkan bahwa yang menyembah Diri-Nya hanyalah orang yang bersyukur
pada-Nya. Dan siapa yang tidak mau bersyukur kepada-Nya berarti ia bukan
termasuk orang-orang yang mengabdi-Nya.
Allah
berfirman:
وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ
تَعْبُدُونَ
“… dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar hanya kepada Allah saja kamu menyembah.”
(Al-Baqarah:
172)
Allah
mengabarkan keridhaan-Nya terletak pada mensyukuri-Nya. Allah berfirman:
وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“… dan
jika kamu bersyukur niscaya Allah meridhai bagimu kesyukuranmu itu …”
(Az-Zumar:
7)
Iblis akan berusaha menghalangi manusia dari
bersyukur kepadaNya
Allah
mengabarkan bahwa musuh-Nya iblis yang selalu berusaha menggoda manusia agar
tidak bersyukur, karena ia tahu kedudukan syukur sangat tinggi dan nilainya
sangat agung, seperti yang terungkap dalam firman-Nya:
ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ
وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ
شَاكِرِينَ
“…
kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari
kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur.”
(Al-A’raaf:
17)
Syukur merupakan pribadi seorang mukmin
Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ
كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ
سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ
“Alangkah
menakjubkannya kehidupan seorang mukmin. Sungguh seluruh kehidupannya baik. Hal
itu tidak dimiliki melainkan oleh mukmin. Jika dikaruniai kebaikan; maka ia
bersyukur, dan itu baik untuknya. Dan jika ditimpa keburukan; maka ia bersabar,
dan itu baik untuknya”.
(HR.
Muslim dari Shuhaib radhiyallahu’anhu)
Kehidupan
seorang hamba di dunia bagaikan roda, kadang ia di bawah dan kadang di atas.
Dalam seluruh kondisi tersebut seorang mukmin selalu dalam kebaikan. Sebab
manakala posisinya di atas, ia akan menyikapinya dengan bersyukur. Dan ketika
posisinya di bawah, ia akan menghadapinya dengan kesabaran. Kedua sikap
tersebut; syukur dan sabar, akan menghantarkannya kepada kebaikan dan keridhaan
Allah ta’ala.
Lima Landasan Syukur
Asal dan
hakikat syukur ialah mengakui nikmat yang memberinya dengan cara tunduk, patuh
dan cinta kepadanya. Orang yang tidak mengenal bahkan tidak mengetahui suatu
nikmat ia jelas tidak bisa mensyukurinya. Demikian juga dengan orang yang
mengenal nikmat tetapi tidak mengenal yang memberinya, ia tidak mensyukurinya.
Orang yang mengenal nikmat berikut yang memberikannya tetapi ia mengingkarinya
berarti ia mengkufurinya. Orang yang mengenal nikmat berikut yang
memberikannya, mau mengakui dan juga tidak mengingkarinya, tetapi ia tidak mau
tunduk, mencintai dan meridhai, berarti ia tidak mau mensyukurinya. Dan orang
yang mengenal nikmat berikut yang memberinya lalu ia mau tunduk, mencintai dan
meridhai serta menggunakan nikmat untuk melakukan keta’atan kepadanya, maka ia
adalah orang yang mensyukurinya.
Dengan
demikian jelas bahwa syukur itu harus berdasarkan lima landasan, yakni
1.
Kepatuhan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri,
2. Kecintaan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri,
3. Pengakuan orang yang bersyukur atas nikmat yang disyukuri,
4. Sanjungan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri atas nikmatny,
5. Dan tidak menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang tidak disukai oleh yang disyukuri.
2. Kecintaan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri,
3. Pengakuan orang yang bersyukur atas nikmat yang disyukuri,
4. Sanjungan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri atas nikmatny,
5. Dan tidak menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang tidak disukai oleh yang disyukuri.
Kelima
hal itulah yang menjadi asas dan landasan syukur. Satu saja di antaranya tidak
ada maka salah satu kaidah syukur menjadi rusak.
Keutamaan Syukur
Allah menggantungkan tambahan nikmat dengan
syukur. Dan tambahan nikmat dari-Nya itu tiada batasnya, sebagaimana syukur
kepada-Nya.
Allah
berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ
لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan
(ingatlah juga) ketika Rabbmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.”
(Ibrahim:
7)
Dengan
bersyukur akan selalu ada tambahan nikmat. Ada peribahasa mengatakan, ‘Jika
kamu tidak melihat keadaanmu bertambah, maka bersyukurlah.’
Iman dan Syukur akan menghalangi seorang
hamba dari adzabNya
Allah
membarengkan syukur dengan iman dan memberitahukan bahwa Dia tidak punya
keinginan sama sekali untuk menyiksa hamba-hamba-Nya yang mau bersyukur dan
beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ
شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
“Mengapa
Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha
Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.“ (An-Nisaa: 147)
Berkata
Syaikh Abdurrazzaaq al badr hafizhahullah: “Artinya, kalau kalian mau bersyukur
dan beriman yang menjadi tujuan kalian diciptakan, maka buat apa Allah menyiksa
kalian?”
Bersyukur itu disetiap keadaan
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam adlaah orang yang paling banyak bersyukur kepada
Allah. Pada saat mendapati sesuatu yang beliau sukau maupun yang tidak beliau
sukai. Disebutkan oleh Ummul Mukminin ‘Aa-isyah radhiyallahu ‘anhu:
Adalah
kebiasaan Rasulullah jika menyaksikan hal-hal yang beliau sukai adalah
mengucapkan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ
تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
Alhamdulillah
alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat
(Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya semua urusan menjadi baik)
Sedangkan
jika beliau menyaksikan hal-hal yang tidak menyenangkan beliau mengucapkan
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
“Alhamdulillah
‘ala kulli hal“
(Segala
puji bagi Allah dalam setiap keadaan)
[HR Ibnu
Majah no 3803 dinilai hasan oleh al Albani].
Syukur ketika mendapat musibah
Ketahuilah,
tingkatan syukur yang tertinggi apabila seseorang dapat bersyukur kepada Allah,
bahkan ketika tertimpa musibah. Yaitu ketika ia ditimpa musibah, kata-kata
pertama yang keluar dari mulutnya adalah syukur kepada Allah, memujiNya. Dan
inilah yang dicontohkan bimbingan serta panutan kita, Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam; sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya.
Maka
mengapa mereka masih bisa bersyukur kepada Allah dalam keadaan seperti ini?
1. Mereka adalah orang yang senantiasa
mengingat nikmat-nikmatNya
Bahkan
ketika mereka tertimpa musibah, mereka TIDAK LUPA akan nikmatNya. Mereka
bandingkan nikmat-nikmatNya dengan cobaan yang diberikanNya, maka tahulah
mereka bahwa cobaan tersebut tidaklah ada apa-apanya dibandingkan nikmat yang
diberikan kepada mereka!
2. Mereka mengetahui bahwa cobaan yang mereka
terima tidaklah seberapa
Jika
mereka membandingkan cobaan mereka dengan cobaan yang menimpa orang lain, yang
lebih berat dari mereka.
3. Mereka mengetahui bahwa segala ketatapan
Allah kepada mereka adalah yang terbaik bagi mereka.
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْضِي لِلْمُؤْمِنِ
قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sesungguhnya
Allah tidak menakdirkan sesuatu untuk seorang mukmin melainkan itu baik
untuknya”.
(HR.
Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan
al-Albany)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ
عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ
الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila
Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan
balasan dosanya di dunia, dan apabila Allah menginginkan kejelekan kepada
hamba-Nya maka Allah akan menunda balasan dari dosanya, sampai Allah
sempurnakan balasannya di hari kiamat.”
(HR.
At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Ash-Shahiihah no.1220)
4. Mereka mengetahui bahwa dibalik cobaan
yang menimpa mereka, ada pahala yang berlipat ganda yang menanti mereka
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ
إِلاَّّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tidaklah
suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya)
karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya.”
(HR.
Al-Bukhariy no.5640 dan Muslim no.2572 dari ‘A`isyah)
Beliau
juga bersabda:
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ
وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ
يُشَاكُهَا إِلاَ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah
seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan
ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan
hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya.”
(HR.
Al-Bukhariy no.5641, 5642 dari Abu Sa’id Al-Khudriy dan Abu Hurairah)
5. Mereka mengetahui bahwa termasuk tanda
kecintaan Allah terhadap hambaNya adlaah dengan memberikan mereka cobaan
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ
الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ
فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya
besarnya balasan tergantung besarnya ujian, dan sesungguhnya Allah Ta’ala
apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka (dengan suatu
musibah), maka barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan (dari Allah) dan
barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan (Allah).”
(HR.
At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no.146)
Seorang
salafush shalih mengatakan bahwa ketika ia ditimpa cobaan, maka ia berpeluang
mendapat empat nikmat:
– nikmat
tidak ditimpakan cobaan dalam aspek keagamaan, keimanan atau aqidahnya;
– nikmat tidak dikenakan musibah yang lebih besar daripada yang dihadapinya;
– nikmat tidak dihilangkan kesabaran dan keridhaan atau kesyukuran menerima musibat yang dihadapinya;
– nikmat menunggu dan menaruh harapan mendapat pahala sebagai ganjaran daripada kemenangan dalam kesabaran dan kerelaan menerima musibah
– nikmat tidak dikenakan musibah yang lebih besar daripada yang dihadapinya;
– nikmat tidak dihilangkan kesabaran dan keridhaan atau kesyukuran menerima musibat yang dihadapinya;
– nikmat menunggu dan menaruh harapan mendapat pahala sebagai ganjaran daripada kemenangan dalam kesabaran dan kerelaan menerima musibah
Bahkan
ulama lain berkata: “Sesungguhnya ‘kita mensyukuri nikmat Allah adalah nikmat’,
maka nikmat inipun adalah sesuatu yang patut kita syukuri”
Berkata
Syaikh Abu Bakr al-Warraq,
“Seorang
hamba Allah itu dikehendaki bersyukur kepada Allah Taala, walau pun dia ditimpa
kesusahan atau cobaan. Kerana, pada hakikatnya, kesusahaan atau cobaan itu
adalah nikmat juga. Cobaan itu akan diiringi dengan kurniaan manfaat (nikmat)
yang besar dan pahala yang terus mengalir, bukan saja sebagai alat tukar ganti
yang sama kadarnya dengan kerugian, tetapi merupakan karunia yang berlipat
ganda, jauh melebihi kadar bala (kerugian) yang kita hadapi”.
Bagaimana cara kita bersyukur?
Allah
berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Karena
itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.
(Aali
Imraan: 123)
Berkata
Imam ibnu Jarir ath Thabariy tentang tafsir ayat ini:
“Maka
bertaqwalah kepadaKu, yang dengannya engkau mensyukuri nikmat-Ku”
(Lihat
Tafsir ath Thabariy)
Berkata
Imam Ibnu Katsiir:
“Yaitu
bertaqwa kepadaNya dengan melakukan taat kepadaNya”
(Lihat
Tafsir ibnu Katsiir)
Syukur
itu sendiri terdiri dari tiga tingkatan:
1. Bersyukur dengan hati
Yakni dengan meyakini bahwa seluruh nikmat
bersumber dari Allah ta’ala.Dalam sebuah ayat Allah subhânah mengingatkan,
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ
Artinya:
“Segala nikmat yang ada pada diri kalian (datangnya) dari Allah”
(QS.
An-Nahl: 53)
Kelihatannya mempraktekkan syukur jenis ini
mudah. Namun realita berkata bahwa tidak sedikit di antara masyarakat yang praktek
kesehariannya membuktikan bahwa mereka masih belum meyakini betul bahwa nikmat
yang mereka rasakan bersumber 100 % dari Allah ta’ala.
Contoh nyatanya: di berbagai daerah, setelah
panen padi, di pojok-pojok sawah diletakkan berbagai uba rampe. Beras merah,
ayam, kelapa muda dan lain-lain. Untuk siapa itu semua?? Persembahan untuk
Allah kah? Atau sesaji untuk ‘pemberi pangan’; Dewi Sri?
Yang
lebih miris dari itu, keyakinan akan keberadaan Dewi Sri diajarkan pula kepada
anak-anak kita di sekolahan.
Di sebuah buku pelajaran sekolah tertulis “Dongeng
Datangnya Dewi Sri”. Di dalamnya ada kalimat: “Semua merasa bahwa padi adalah
pemberian Dewi Sri untuk bahan pangan untuk seluruh manusia. Di Pulau Jawa
orang menyebutnya Dewi Sri. Di Sumatra ada yang menamakannya Putri Dewi Sri,
Putri Mayang Padi Mengurai, atau Putri Sirumpun Emas Lestari.”
Innalillah wa inna ilaihi raji’un… Dongeng
khayal yang merusak aqidah ternyata diajarkan kepada anak-anak kita!
2. Bersyukur dengan lisan
Yakni dengan memperbanyak mengucapkan
hamdalah, sebagaimana perintah Allah ta’ala,
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلّهِ
Artinya:
“Katakanlah: alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”.
(QS.
Al-Isra: 111 dan an-Naml: 93)
Termasuk
bentuk syukur dengan lisan; menceritakan kenikmatan yang kita rasakan kepada orang
lain. Allah ta’ala memerintahkan,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya:
“Adapun mengenai nikmat Rabbmu, maka ceritakanlah”
(QS.
Adh-Dhuha: 11)
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
فَمَنْ ذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ
Barangsiapa
yang menyebut-nyebut kebaikan, maka ia telah bersyukur
(HR.
Ahmad; dikatakan derajatnya oleh syikh al-albaaniy dalam shahiih at-targhiib:
“HASAN LI GHAYRIHI”)
3. Syukur dengan anggota tubuh,
yakni
mempergunakan nikmat Allah untuk ketaatan pada-Nya bukan untuk berbuat maksiat.
Syukur jenis ketiga ini amat berat, sehingga hanya sedikit yang mengamalkannya.
Allah
ta’ala befirman,
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ
مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Artinya:
“Wahai keluarga Dawud beramallah sebagai bentuk syukur (kepada Allah). Dan
sedikit sekali di antara para hamba-Ku yang bersyukur”.
(QS.
Saba’: 13)
Mata kita
dipergunakan untuk membaca al-Qur’an, membaca hadits atau menelaah ilmu yang
bermanfa’at; bukan untuk melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Telinga kita
dipergunakan untuk mendengarkan pengajian atau hal yang baik-baik lainnya;
bukan untuk mendengarkan musik dan nyanyian maupun mendengarkan ghibah. Kaki
kita pergunakan untuk beribadah kepadaNya ataupun untuk mencari nafkah; bukan
untuk mendatangi tempat-tempat maksiat. Harta kita dipergunakan dijalan Allah;
bukan untuk digunakan dijalan yang haram, atau yang sia-sia.
Dengan
melakukan ini maka nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada kita akan terus
bertambah dan BERBARAKAH… jika tidak, maka nikmat tersebut akan dicabut di
dunia; kalaupun tidak dicabut, maka yang dicabut adalah keberkahannya; atau
yang terparah, balasannya ditunda diakhirat, dimana akan disiksa karena tidak
mensyukuri nikmatNya, na’uudzubillaah.
Dalam al
Qur-aan:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ
لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya:
“(Ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur,
niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kalian mengingkari
(nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.
(QS.
Ibrahim: 7)
Kiat agar kita menjadi hamba yang pandai
bersyukur
1. Meminta tolong kepada Allah ta’ala agar
dibantu bersyukur.
Di antara wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam kepada
Mu’adz,
أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ
كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ
“Wahai
Mu’adz, aku wasiatkan padamu agar setiap akhir shalat tidak meninggalkan untuk
membaca doa
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ
وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya
Allah, bantulah aku agar senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan
baik kepada-Mu”.
(HR. Abu
Dawud dan yang lainnya. Hadits ini dinilai sahih oleh al-Hakim, Ibn Khuzaimah,
Ibn Hibban dan al-Albani)
2. Senantiasa berusaha membandingkan
kenikmatan duniawi yang kita rasakan dengan kenikmatan orang yang di bawah
kita.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menasehatkan,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا
تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا
نِعْمَةَ اللَّه
“Lihatlah
orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas kalian;
sebab hal itu akan mendidik kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah”.
(HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)